
Guru BK Hebat, Siswa Sehat: ITN Malang dan MGBK Kota Malang-Batu Gelar Workshop Tangani Burnout dan Toxic Environment Remaja
ITN Malang adakan workshop bertajuk “Guru BK Hebat, Siswa Sehat: Strategi Psikologis Menangani Burnout dan Toxic Environment untuk Siswa” untuk guru BK dari SMA dan MA se-Kota Malang dan Kota Batu. (Foto: Yanuar/Humas ITN Malang
Malang, ITN.AC.ID – Sebanyak 30 guru Bimbingan dan Konseling (BK) dari SMA dan MA se-Kota Malang dan Kota Batu tampak antusias mengikuti workshop bertajuk “Guru BK Hebat, Siswa Sehat: Strategi Psikologis Menangani Burnout dan Toxic Environment untuk Siswa”. Acara yang merupakan kolaborasi antara Institut Teknologi Nasional Malang (ITN Malang) dengan Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) ini digelar di Ruang Amphi Mesin, Lantai 2 Kampus II ITN Malang, pada Rabu (11/07/2025).
Workshop menghadirkan narasumber kompeten, Hilda Rosa Ainiyah, S.Psi., M.Psi., Psikolog, yang membagikan strategi psikologis krusial untuk menangani fenomena burnout dan lingkungan toksik (toxic environment) di kalangan siswa. Dalam sesinya, Hilda membuka diskusi dengan mengajak peserta mengisi polling tentang hal-hal positif yang biasa disampaikan guru BK kepada siswa. Namun, Hilda mengingatkan, ‘Sesuatu yang positif kalau tidak ditempatkan pada waktu yang tepat itu akan menjadi sesuatu yang merusak.’
“Siswa korban kekerasan dalam rumah tangga akan berdampak pada akademik mereka. Sayangnya banyak yang punya potensi tapi menjadi korban,” katanya.
Hilda memaparkan data mengejutkan terkait isu kesehatan mental remaja di Indonesia. Ia mengungkapkan maraknya “toxic relationship” yang diibaratkan sebagai “racun” yang mencekoki generasi muda. Selain itu, burnout juga menjadi masalah serius akibat tekanan akademik yang kian tinggi.
Hilda menjelaskan, toxic relationship didefinisikan sebagai hubungan interpersonal yang menimbulkan tekanan. Ironisnya, hubungan paling menyakitkan seringkali datang dari orang terdekat seperti orang tua, pasangan, atau teman dekat, karena ekspektasi tinggi yang kita miliki terhadap mereka.
Baca juga : ITN Malang dan MGBK Kota Malang-Batu Kolaborasi Tingkatkan Kapasitas Guru BK dan Arah Studi Siswa
Ciri-ciri toxic relationship meliputi: Komunikasi yang merusak, keinginan untuk memanipulasi atau mendominasi; Komunikasi tidak seimbang, cenderung satu arah; Menimbulkan perasaan negatif yang konsisten, seperti merasa selalu dikecewakan, diabaikan, atau disepelekan; Sulit untuk komunikasi jujur dan terbuka; serta Ketergantungan emosional yang menyakitkan, sering dilakukan oleh orang manipulatif.
Untuk mengatasi konflik dalam toxic relationship, Hilda menekankan dua hal penting, yakni setting boundaries (menetapkan batasan) dan asertif. Batasan, baik fisik maupun emosi, perlu diperkuat. Sedangkan asertif berarti menyampaikan tanpa mengharapkan umpan balik, hanya sekedar menyampaikan.
Hilda Rosa Ainiyah, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjadi pemateri workshop di ITN Malang. (Foto: Yanuar/Humas ITN Malang)
Hilda juga memperkenalkan konsep “toxic positivity”, yaitu tekanan untuk SELALU “berpikir positif” hingga menolak emosi negatif yang valid. Kalimat-kalimat positif seperti “Semangat ya! Kamu pasti bisa!” bisa menjadi beban jika diucapkan pada waktu yang tidak tepat. Ia menyarankan penggantian kalimat dengan sesuatu yang lebih mendalam dan berempati, seperti: “Kamu sudah berusaha maksimal, jadi apapun hasilnya tidak masalah, kami tetap menghargai.”
Validasi emosi menjadi kunci. Emosi, baik positif maupun negatif harus diakui sebagai valid. Mengabaikan perasaan justru akan menghambat proses pemulihan. Hilda mendorong pengenalan “Wheel of Emotion” kepada siswa agar mereka memahami berbagai jenis emosi yang dirasakan.
Sementara burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan mental yang serius terkait dengan apa yang dikerjakan. Gejalanya meliputi performa akademik menurun meski belajar keras, hilangnya motivasi, perasaan hampa, dan kelelahan emosional. Hilda menegaskan bahwa burnout berbeda dari stres. Stres masih melibatkan emosi aktif seperti cemas dan tegang, sementara burnout adalah kondisi mati rasa, tidak peduli, dan “kosong secara emosional.”
Jika parah, burnout dapat mengarah pada depresi. Burnout seringkali terjadi akibat tekanan jangka panjang dan abstrak, membuat seseorang kehilangan makna. “Yang menjadi kita kuat adalah kebermaknaan dari apa yang kita kerjakan. Makna adalah arah yang memberi nyawa pada setiap langkah; tanpanya, kesibukan hanyalah pelarian, dan pencapaian terasa hampa,” tutupnya.
Materi workshop mendapat tanggapan positif dari peserta. Para guru BK merasa topik yang diangkat sangat relevan dengan tantangan yang mereka hadapi di lapangan. “Keren banget, bahasanya enak pembahasannya mendetail, tapi sayangnya waktunya kurang lama! Kalau nanti ada lagi kegiatan seperti ini dan beliau yang menyampaikan, tepat sekali,” ujar Izza Nur, Guru BK SMA Negeri Taruna Nala memuji narasumber.
Senada dengan Izza, Ning Fuadah, Guru BK MA Muhammadiyah 1 Kota Malang juga merasakan manfaat mengingat kompleksnya kondisi siswa saat ini. Menurutnya, acara ini tak hanya membekali guru BK dengan strategi menangani siswa, tetapi juga memperkuat diri para guru itu sendiri.
Baca juga : Butuh Teman Curhat? ITN Malang Sediakan Layanan Konseling Gratis bagi Mahasiswa
“Kuncinya seperti yang Bu Hilda sampaikan adalah penerimaan diri. Dengan menerima diri sendiri akan menjadi langkah kami untuk bisa melayani lebih baik lagi kepada anak-anak. Ini pesan yang tampaknya sederhana, tapi sangat bermakna dan perlu kami upgrade terus agar kami berdampak kepada anak-anak,” tuturnya. (Mita Erminasari/Humas ITN Malang)